Menolak Lupa Ancaman PKI Terhadap kehidupan Bangsa Indonesia

PKI, singkatan dari Partai Komunis Indonesia, adalah sebuah partai politik yang pernah berkembang di Indonesia setelah Uni Soviet dan Tiongkok. 

PKI merupakan pendukung teguh ideologi komunis yang pertama kali dicetuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dalam manifesto politik pada tahun 1848. 

Manifesto politik ini berisi teori analisis pendekatan untuk memperjuangkan kelas bawah masyarakat, seperti petani dan buruh, agar mencapai kemakmuran ekonomi.

Manifesto politik tersebut muncul sebagai akibat dari adanya kesenjangan ekonomi di Eropa antara pengusaha (kapitalis) dan pekerja (buruh), serta ketidaktertarikan para penguasa terhadap nasib buruh dan petani yang hidup dalam kondisi ekonomi yang lemah. 

Dengan demikian, manifesto politik ini mendorong terbentuknya gerakan politik sosialis-komunisme yang paling berpengaruh di dunia, yaitu Uni Soviet, yang menjadi pesaing utama sistem liberalisme-kapitalisme yang dianut oleh Amerika Serikat.

Di Indonesia, ideologi komunis pertama kali diperkenalkan oleh Semaun, seorang tokoh Indonesia yang memiliki kedekatan dengan Henk Sneevliet, seorang komunis Belanda yang terlibat dalam perlawanan komunis terhadap pendudukan Jerman atas Belanda selama Perang Dunia II. Sayangnya, Sneevliet sendiri dinyatakan bersalah dan dihukum mati oleh Jerman pada tahun 1942.
Henk sneevliet
Awalnya, Semaun adalah seorang anggota dari organisasi Sarikat Islam (SI). Pada tahun 1921, terjadi perbedaan ideologi di dalam tubuh SI karena adanya agitasi dari kelompok komunis yang dipimpin oleh Semaun dan Darsono. Hal ini menyebabkan organisasi tersebut terbagi menjadi dua fraksi, yaitu Sarikat Islam Putih yang dipimpin oleh HOS Cokroaminoto dengan ideologi Pan-Islamisme, dan Sarikat Islam Merah yang dipimpin oleh Semaun dengan ideologi Komunisme.

PKI mengadopsi manuver politik yang semakin radikal dengan tujuan menggantikan ideologi Pancasila dengan Ideologi Komunis. Sikap PKI menjadi semakin brutal dengan melakukan berbagai aksi sepihak yang menyebabkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Puncak dari tindakan tersebut adalah gerakan pemberontakan pertama yang dilakukan oleh PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948.

Pemberontakan PKI di Madiun berhasil ditumpas melalui upaya gigih TNI dan Polisi dengan dukungan dari masyarakat. Akhirnya, Madiun berhasil direbut kembali dari tangan PKI. Dalam serangan tersebut, Amir Syarifudin tewas akibat tembakan. Setelah berhasil merebut Madiun, TNI dan Polri melanjutkan tindakan pembersihan dan pengejaran terhadap anggota PKI yang melarikan diri. Operasi pembersihan unsur PKI di Madiun dinyatakan selesai pada bulan Desember 1948.

Penangkapan partisipan PKI Madiun

Meskipun pemberontakan PKI di Madiun berhasil ditumpas, PKI terus aktif dalam menyebarkan pengaruhnya di kalangan masyarakat. Melalui upaya yang gigih, PKI berhasil mendapatkan banyak simpatisan dan akhirnya tumbuh menjadi sebuah partai besar. Pada tahun 1955, PKI berpartisipasi dalam pemilihan umum yang pertama di Indonesia.

Pada Pemilihan Umum (Pemilu) pertama di Indonesia pada tahun 1955, Partai Komunis Indonesia (PKI) berhasil mencapai posisi sebagai partai terbesar keempat setelah Nahdlatul 'Ulama, Masyumi, dan PNI. PKI terus berusaha untuk memperluas pengaruhnya dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. 

Kebijakan politik "Nasakom" (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang diterapkan oleh Presiden Sukarno pada masa demokrasi terpimpin di Indonesia semakin menguntungkan posisi PKI dalam pemerintahan.

Aidit
Setelah PKI merasa cukup kuat, mereka melakukan provokasi terhadap pimpinan TNI Angkatan Darat dan Dewan Jenderal dengan tuduhan bahwa mereka berencana melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno saat peringatan ulang tahun ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965. 

PKI kembali melakukan provokasi terhadap Dewan Jenderal dengan menyebut mereka sebagai agen "Nekolim" (Amerika Serikat atau Inggris). Menyikapi tuduhan yang dilontarkan oleh PKI, satuan ABRI kemudian membalas dengan menuduh PKI sendiri berupaya merebut kekuasaan.


Setelah segala persiapan dirasa telah cukup PKI mengambil keputusan untuk melaksanakan kudeta pada tanggal 30 September 1965. Gerakan 30 September 1965 merupakan operasi militer secara fisik yang dipimpin oleh Kolonel Untung Komandan Batalion Resimen Cakrabirawa. Kemudian Kolonel Untung memerintahkan kepada pasukan militernya untuk melaksanakan kudeta pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari. Serangan akhirnya dilaksanakan dengan melakukan aksi penculikan terhadap 6 Perwira dan Perwira Pertama Angkatan Darat. Mereka disiksa dan dibunuh kemudian dibawa ke Lubang Buaya Markas PKI yang terletak sebelah selatan pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma. 

Untuk menghilangkan Jejak pembunuhan agar tidak diketahui oleh pemerintahan Republik Indonesia Jasad para Perwira ini dibuang kedalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya kemudian ditutupi dengan tumpukan sampah. Korban banyak berjatuhan dari tubuh TNI angkatan darat diataranya Letnan Jendral Ahmad Yani, Mayor Jendral R. Soeprapto, Mayor Jendral Haryono Mas Tirtodarmo, Mayor Jendral Suwondo Parman, Brigadir Jendral Donald Izacus Panjaitan, Brigadir Jendral Soetojo Siswomiharjo, Letnan Sati Pierre Andreas Tendean, Yogyakarta dipimpin oleh Mayor Mulyono yang berhasil Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono mereka kemudian terbunuh oleh para penculik di desa Kentungan sebelah utara kota Yogyakarta. Di Yogyakarta Kolonel Katamso dan Letnan Kolonel Sugijono terbunuh oleh para penculik di desa Kentungan sebelah utara kota Yogyakarta.

Keberadaan PKI di Indonesia mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara dan sangat bertentangan dengan ideologi Pancasila. Karl Marx dengan paham Komunisme berniat menciptakan masyarakat yang lebih adil, tidak mengenal kelas, mengutamakan hak setiap orang (kolektif), serta tidak bergantung kepada Tuhan dan agama. Jelas sekali Komunis tidak cocok hidup dan berkembang di Indonesia ideologi pancasila saja ingin mereka gantikan dengan komunis, para jendral mereka buru dan dibunuh, apa lagi dengan kita masyarakat biasa. Jangan sampai sejarah kelam PKI terulang kembali tetapi biarlah sejarah menuntun kita menjalankan kehidupan bernegara lebih bijaksana dengan semakin tingginya rasa toleransi sesama warga negara Indonesia.