Nilai Budaya Masa Praaksara di Indonesia

Keragaman masyarakat Indonesia menjadi kebanggaan tersendiri bagi Indonesia sehingga menghasilkan berbagai nilai-nilai budaya. Nilai Budaya sendiri merupakan tolak ukur kebiasaan yang dilakukan  turun-temurun oleh masyarakat sehingga setiap penyimpangan atau perubahan dalam nilai tersebut akan terlihat. Di Indonesia sendiri ada 6 nilai budaya  masa praaksara di Indonesia yaitu:

  1. Nilai Religius
  2. Nilai Gotong Royong
  3. Nilai Musyawarah
  4. Nilai Keadilan
  5. Tradisi Bercocok Tanam
  6. Tradisi Bahari (Pelayaran)  
Nilai Religius pada masa praaksara di Indonesia sebenarnya masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Nilai religus tersebut terlihat dari adanya kebiasaan masyarakat seperti melakukan ziarah pada makam leluhur melakukan upacara sesajen untuk memuja roh nenek moyang. Sampai sekarang kebiasaan sebagian masyarakat masih sangat meyakini adanya sebuah benda yang memiliki kekuatan gaib misalnya senjata pusaka, jimat dan masih banyak lagi. Nilai Religus budaya masa praaksara di Indonesia yaitu kepercayaan akan roh nenek moyang (Animisme) dengan diikuti oleh adanya media/sarana untuk melakukan pemujaan dan memiliki kekuatan gaib (Dinamisme).
Dolmen meja batu meletakkan persembahan
untuk roh nenek moyang
Nilai gotong royong pada masyarakat praaksara di Indonesia terlihat dari cara hidup masyarakat saat itu yang masih berpindah-pindah. Mereka harus bekerja sama (Gotong royong) untuk menggumpulkan makanan misalnya saat berburu. Mengapa berburu harus bergotong royong? tentunya saja gotong royong diperlukan yang disebabkan oleh keterbatasan alat yang digunakan untuk berburu. Kebiasaan atau budaya gotong-royong masih tetap hidup didalam kehidupan masyarakat Indonesia seperti memperbaikan jalan, membangun rumah yang biasanya di lakukan saat pendirian batu pertama.

Nilai musyawarah masyarakat Indonesia masa praaksara dilakukan saat pemilihan pemimpin suatu kelompok masyarakat (Kepala Suku). Seperti kita ketahui bahwa Kepala Suku adalah bentuk pemerintahan asli dari Indonesia  jika ditinjau dari jumlah suku yang ada di Indonesia tentu banyak sekali pemimpin masyarakat pada masa praaksara. Selain digunakan untuk memilih pemimpin kelompok masyarakat (Kepala Suku) musyawarah juga dilakukan untuk mencari solusi atau pemecahan masalah yang dihadapai.
Kepala Suku Papua
Kehidupan masyarakat pada masa praaksara yang sangat bergantung pada alam dengan keterbatasan alat kehidupan mendorong adanya kehidupan bersama dan gotong rorong. Dalam kehidupan bergotong royong tersebut terlihat adanya nilai keadilan pada masayarakat praaksara Indonesia dimana adanya pembagian kerja sesuai dengan kemampuan dan mampu dilakukan oleh seseorang. Contoh sederhana dari nilai keadilan dalam pembagian kerja seorang laki-laki melakukan tugas berburu dan wanita mengumpulkan tumbuh-tumbuhan misal jamur atau mengumpulkan sayur-sayuran.

Kehidupan masyarakat praaksara yang tadinya masih ketergantungan terhadap mulai berfikir memproduksi kebutuhannya sehingga kemudian mulai berfikir untuk bercocok tanam. Kemampuan berfikir masyarakat juga semakin berkembang yang mampu menghasilkan teknologi sehingga tercipta alat untuk pertanian seperti beliung persegi. Ditemukannya alat pertanian tersebut mendukung masyarakat pada masa praaksara dalam bercocok tanam. Teknik bercocok tanam yang dilakukan yaitu Huma (Ladang berpindah-pindah)
Beliung Persegi
Keberhasilan masyarakat masa praaksara dalam teknologi menghasilkan alat kehidupan terbuat dari logam masayarakat praaksara juga berhasil menciptakan tekonlogi transportasi perlayaran (tradisi bahari) perahu bercadik. Perahu bercadik adalah transportasi yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia digunakan untuk kegiatan perlayaran antar pulau. Kegiatan perlayaran bukanlah hal yang mudah dilakukan namun masyarakat masa praaksara sudah memahami ilmu astronomi untuk mengentahui cuaca dan perbintangan sebagai navigasi atau petunjuk arah.