Kebijakan Ekonomi Soekarno masa Demokrasi Liberal Tahun 1950

Sejak tahun 1945 diawal kemerdekaan, Bangsa Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang cukup rumit untuk diselesaikan. Berbagai kebijakan ekonomi dilakukan untuk mencapai kestabilan ekonomi. Sebagai negara yang baru berdiri tentunya bukan masalah yang mudah untuk memperbaiki keadaan ekonomi dengan cepat. Masalah perekonomian yang sulit berlanjut hingga sistem Demokrasi Liberal yang mulai diberlakukan di Indonesia tahun 1950 - 1959.

Kondisi Perkotaan 
Demokrasi Liberal atau Demokrasi Konstitusional adalah adalah sebuah sistem politik yang menganut kebebasan Individu. Demokrasi Liberal pertama kali oleh tokoh-tokoh pemikir diantaranya  Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau yang dikenal dengan teori kontrak sosial. Pada masa perang dingin Demokrasi Liberal yang melekat dengan negara Amerika Serikat sangat bertentangan dengan Uni Soviet sebagai negara besar penganut Komunisme di Dunia.

Demokrasi Liberal di Indonesia terkait dengan hasil Konferensi Meja Bundar yang menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara Serikat yang merupakan gabungan dari Republik Indonesia dengan Negara-negara bentukan Belanda BFO kemudian disebut RIS Republik Indonesia Serikat. Berlakunya Demokrasi Liberal di Indonesia menyebabkan sering terjadi pergantian kabinet sehingga setiap kebijakan selalu mengalami perubahan begitu juga dibidang ekonomi. Beberapa Kebijakan Ekonomi Soekarno Masa Demokrasi Liberal Tahun 1950 - 1959 adalah:

  1. Gunting Syafruddin, merupakan sebuah kebijakan ekonomi pernah dilaksanakan di Indoonesia dengan memotong nilai mata uang dimulai dari Rp. 2,50 keatas. Kebijakan Guntung Syafruddin terjadi pada masa kabinet Natsir bertepatan dengan Syafruddin Prawiranegara menjabat sebagai menteri keuangan, kebijakan Gunting Syafruddin dilakukan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat dan menambah kas negara.
    Syafruddin Prawiranegara
  2. Nasionalisasi de Javasche Bank. Kabinet Sukiman membentuk Panitia Nasionalisasi de Javache Bank pada tanggal 19 Juni 1951 berdasarkan keputusan Pemerintah RI No. 122 dan 123. Pemerintah memberhentikan  Presiden de Javasche Bank Dr. Houwing digantikan oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden de Javasche Bank yang baru. 15 Desember 1951 diumumkan Undang-Undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi de Javasche Bank menjadi Bank Sentral. 1 Juli 1953, de Javasche Bank secara resmi berganti nama menjadi Bank Indonesia.
    Kantor De Javache Bank di Bandung
  3. Sistem Ekonomi Ali-Baba 1953 merupakan program kerja dari kabinet Ali Sastroamijoyo I yang dipelopori oleh Mr. Iskaq Cokrohadisuryo. Ali-Baba Merupakan sebuah istilah terbagi menjadi 2 yaitu Ali sebutan bagi pengusaha Lokal dan Baba sebutan bagi pengusaha Tionghoa. Kebijakan ini mengharuskan pengusaha asing memberikan latihan kepada para pengusaha Lokal Indonesia. Pemerintah juga memberikan Bantuan kredit kepada pengusaha lokal Indonesia lengkap dengan lisensi usaha dengan harapan pengusaha lokal dapat bersaing dengan pengusaha-pengusaha asing lainnya.
  4. Gerakan Benteng merupakan salah satu kebijakan dari kabinet Natsir yang dipelopori oleh Dr. Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk melindungi para pengusaha Lokal dari para pengusaha kolonial serta memberikan bantuan kredit dan pelatihan kepada para pengusaha dalam negeri.
    Dr. Sumitro Djojohadikusumo
  5. Gerakan Asaat adalah kebijakan melindungi pengusaha pribumi dengan memberikan lisensi khusus pada tahun 1956
  6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) direncananya dilaksanakan tahun 1956 – 1961. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) baru disetujui oleh DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap).
  7. Nasionalisasi Perusahaan Asing. Pada 9 Desember 1957 Perdana Menteri Juanda menyatakan bahwa semua perusahaan pertanian Belanda, juga campuran Belanda-Indonesia, termasuk harta benda tak bergerak dan tanah-tanah perkebunan, sejak itu berada di bawah pengawasan pemerintah RI. Perusahaan-perusahaan yang berhasil diambil alih oleh pemerintah diantaranya  Bank De Nationale Handelsbank N. V (Bank Umum Negara), Bank Nederlandsche Indische Escompto Maatschappij (Bank Dagang Negara), N.V Nederlandsche Handels Maatschappij (Bank Exim), Koninklijke Nederlands Indische Luchtvaart Maatschappij/KNILM (Garuda Indonesia).
  8. Persetujuan Finansial Ekonomi (Finek) adalah sebuah kebijakan diantara Indonesia dan Belanda. Keputusan Finek Terjadi saat Indonesia mengirim  Anak Agung Gde ke Jenewa  tanggal 7 Januari 1959 sehingga tercapai kesepakatan  rencana Perjanjian Finek yang berisi:
    • Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan
    • Hubungan Finek Indonesia dan Belanda didasarakan atas hubungan bilateral
    • Hubungan Finek didasarkan pada undang-undang nasional, yang tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.